Rabu, 23 April 2014

Contoh Pidato Dalam Bahasa Inggris : "Selfies Are More Dangerous Than You Think!"

Menyampaikan Speech  memang susah-susah gampang. Namun jika dilatih berulang kali pasti bisa. Sebaiknya naskah Speech jangan dihapal. Cukup ingat beberapa poin yang akan disampaikan yakni Addressing, Greetings, Opening, Body, Clossing kemudian Thanking. Berikut ini saya ingin share  salah satu naskah  Speech yang pernah saya sampaikan di UNPAS Senin, 21 April 2014.




"Selfies Are More Dangerous Than You Think!"

Dear Mr. Amin,
And all my friends..
I would like to thanks to you, for giving me a time to speak here.

LADIES AND GENTELMAN ..
Today, I’ve read  the story about Danny Bowman. The 19 years old teenager that  always spend 10 hours a day taking up  200 photos of himself on his iPhone. Then He dropped out of school, stay in his room for  six months to capture the perfect self-portrait. He want to be Leonardo Di Caprio on selfie picture, but he did not succeed.  And also worried of bullying experience.  Finally, he became so depressed that overdose selfie picture. So today I want to talk here about Selfies Are More Dangerous Than You Think!

LADIES AND GENTELMAN ..
Everyday, I scroll the my Facebook’s newsfeed. And I found  more than 50 selfies photograph.  Then I open my Instagram, again I saw more than 100 selfies picture every single day. The photograph showing various poses. Namely  “duck face”,  “Trick of Light”, “Perfect Body”, “Best Moment Background”, and “Selfie on The Mirror”.
Have you ever  seen “the duck face”?
 Duck face is popular expression in social media. They ussualy show their  pursed lips,  seems like a  duck face. This expression  is mostly done by teenagers. The goal is to impress the cute and adorable photos. If you have ever  seen the special lighting effect in photograph. This effect make the photos more bright and soft.  The trick of light effects  can make the images better and artistic. Most people who has dark skin  like to do this. “Perfect Body”, it is also often performed selfie  for a man who has muscle shape and six pack, or  women who want to show  off her breasts and bottom. If you likes to do it, becarefull. Selfie Pose in front of the mirror can observe posture and  the best  angel.  Most people do this at home or use a large mirror  in  public restrooms.

LADIES AND GENTELMAN ..
We can say this phenomenon,  Body Dysmorphic Disorder or BDD.
 BDD is since the rise of camera phones have a compulsion to repeatedly take selfies. Selfies "as a serious mental health problem". According to psychologist Salma Prabhu, The goal of Selfies is to show how great he is, but it could be aimed wants to be noticed. Selfie can turn someone into an ambitious person who has an unhealthy obsession.
According to psychiatrist Dr. David Veal,  Selfie  not a vanity issue. It's a mental health one which has an extremely high suicide rate. Technology addiction and Body Dysmorphic Disorder — a chronic mental health condition in which the sufferer obsesses over perceived flaws with their body.

LADIES AND GENTELMAN ..
Now let me show you,  how this  selfie-phenomenon contribute bad impact to the social life, base on case study and research.Based on research Academy Facial Plastic and Reconstructive Surgery American (AAFPRS),  Photo- selfie that encourage high interest of people to do plastic surgery. Because, they want to look perfect in every photograph. If it can be likened, plastic surgery is a ‘photoshop’  in the real world.  The survey involved 2,700 plastic surgeons who are members AAFPRS. Mostly, the patient looks reasonable to improve performance in social media.  In  2013,  a sharp nose demand  increase 10 percent. Meanwhile, hair transplants  increase  7 percent and demand  for  eyelid increased 6 percent. Besides selfie, bullying became one of the driving plastic surgery.  They want to look beautiful or handsome in front of the opponent's chat.
A study titled "Tagger's Delight? Disclosure and liking behaviour in Facebook: the effects of sharing photographs amongst multiple known social circles". From three business schools in Europe found that people who post more selfies have more shallow relationships with people. Professors asked 508 Facebook users with an average age of 24 to rank how close they felt to friends, coworkers and relatives who also happened to be on the site. Then, they compared that data to the number of selfies the test subjects had posted. The conclusion? :  "Increased frequency of sharing photographs of the self, regardless of the type of target sharing the photographs, is related to a decrease in intimacy in personal relationships”.
According to Birmingham Business School professor and lead author Dr. David Houghton, "People, other than very close friends and relatives, don't seem to relate well to those who constantly share photos of themselves. It's worth remembering that the information we post to our 'friends' on Facebook, actually gets viewed by lots of different categories of people: partners; friends; family; colleagues and acquaintances; and each group seems to take a different view of the information shared."

LADIES AND GENTELMAN ..
That in moderation, selfies are a feel-good and often creative way, particularly for teens, to chronicle their lives and emotions and express their personalities. But,  narcissistic on sefies  is  correlated with a decrease in the intimacy of personal relationships.
No more virtual bullying, no more Body Dysmorphic Disorder, no more the next  “Danny Bowman”.

Thankyou


Kamis, 27 Maret 2014

Komunikasi Politik Caleg

sumber : tribunnews
Pemilu Legislatif tinggal sebulan lagi. Tapi gaung kredibilitas para calegnya masih belum terdengar. Hanya posternya saja yang turut meramaikan kaca bagian belakang angkot dan pohon rindang.

Tepat tanggal 9 April nanti masyarakat Indonesia  menggunakan hak politiknya untuk menentukan siapa calon legislatif (caleg) pilihannya. E-voting pun dipilih  sebagai sistem baru  dalam pemilihan umum nanti. Namun apakah  pemilihan umum legislatif  (pileg)  tahun ini akan  berhasil  menyedot partisipasi rakyat?

Jika kita  analogikan ke masa lalu,  partisipasi pemilih  turun dari tahun ke tahun. Pada pileg  tahun 1999 golput  mencapai angka 10,2%. Selanjutnya pada pileg 2004 sebanyak 23,3% golput.  Dan di tahun 2009 jumlahnya meningkar jadi 29%  yang  tidak menggunakan hak pilihnya.

Trend angka golput  meningkat setiap periodenya. Hal itu menjadi pertanda  berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pileg. Jangan salahkan rakyat jika  pada pileg  memilih Golput. Calon legislatifnya saja kurang begitu dikenal dikalangan masyarakat. Informasi  yang dibutuhkan masyarakat tentang calegnya bukan sekedar siapa dan dari partai apa. Melainkan bagaimana kredibilitas caleg itu. Lalu solusi  kerakyatan apa  yang akan dilakukan caleg  jika kelak terpilih. Sehingga para Caleg harus sadar bahwa memikat hati rakyat bukan sekedar narsis pasang poster di body  angkot dan  pohon rindang.

Mendulang suara di pileg memang bukan hal yang mudah.  Strategi komunikasinya pun harus inovatif dan terencana dengan baik. Sehingga caleg harus bisa nyekill (nge -skill) dalam  menyampaikan pesan politiknya. Pun, pesan politik yang disampaikan harus bisa menjawab apa yang sebenarnya diharapkan rakyat.   Mengapa demikian?

Fenomena apatisme masyarakat  muncul seiring dengan kekecewaannya  terhadap era reformasi. Di tambah  lagi dengan pemberitaan media terkait kasus korupsi   yang melibatkan para elit  politik, membuat kredibilitas partai  di mata masyarakat kian merosot.  Mayoritas parpol  gencar membangun citranya hanya di saat-saat menjelang pemilu. Usai pemilu  peran parpol tampaknya datar-datar saja, bahkan cenderung mengabaikan permanent campaign atau tidak mampu melaksanakan program–program politik  yang ditawarkan pada saat kampanye.

Hingga detik ini,  belum muncul caleg yang pro aktif  menanggapi  isu tertentu.   Padahal  suatu isu yang beredar di masyarakat bisa menjadi umpan untuk seorang  caleg dalam merancang perencanaan  komunikasi politiknya.

Masih tersirat kenangan bagaimana  popularitas Jokowi  naik ketika mengangkat isu  Mobil Esemka.  Mobil  karya siswa SMK ini banyak disorot televisi  menjelang pencalonan Jokowi sebagai gubernur DKI. Dengan bangga Jokowi mempromosikan keunggulan Esemka sebagai karya anak bangsa. Padahal saat itu bangsa ini sedang dilanda pro dan kontra tentang impor mobil murah. Alhasil tak hanya menarik simpati masyarakat, Jokowi pun berhasil menjadi media darling hingga saat ini.

Strategi komunikasi Jokowi mirip dengan konsepsi Ostergaard (2002) tentang aspek A3 (awareness, attitude, action). Pada tahapan awareness ini Jokowi sebagai komunikator politik menggugah kesadaran sekaligus menarik perhatian masyarakat, melalui gagasan dan informasi yang dikampanyekan.

 Selanjutnya adalah tahapan attitude sasaran politik. Dimana di tahap ini komunikator politik memunculkan rasa simpati, rasa suka dan kepedulian. Kemudian memunculkan  keberpihakan khalayak pada isu-isu  yang menjadi tema kampanye. Pada tahapan action berarti kampanye  ditujukan untuk mengubah  perilaku masyarakat  secara konkrit  dan terukur.

Seorang komunikator politik akan berhasil dalam menyampaikan pesan politiknya ketika ia memiliki daya tarik dan kredibilitasnya. Dan Jokowi berhasil menggiring daya tarik dan kredibilitasnya itu ke ranah opini publik.

Sekarang, mampukah para caleg menciptakan daya tarik dan kredibilitas yang khas bagi dirinya? Sebagai caleg kreatif seharusnya mampu menciptakan strategi komunikasi  yang lebih jitu. Karena mendongkrak popularitas bukan hanya sekedar membumbui poster kampanye dengan titel gelar, bukan pula dengan memamerkan wajah nan rupawan, apa lagi dengan mendompleng nama besar para petinggi partai.

Intinya, rakyat butuh solusi. Sebagai caleg berkualitas, dia harus bisa menciptakan solusi sebagai pesan sentral dari kampanyenya. Diharapkan para caleg bisa mendongkrak popularitasnya dengan mengkampanyekan solusi cerdas atas masalah yang masih ada di tengah masyarakat.

Kalau masyarakat dipaksa untuk memilih pada pileg tahun ini, tentu bakalan kebingungan caleg mana yang akan dipilih. Sementara masyarakat masih bertanya-tanya, siapa caleg tersebut? Bagaimana kredibilitas partainya? Berpihak pada siapa dia? Siapa yang mendukungnya? Bagaimana reputasi dan track record-nya? Dan solusi apa yang caleg tawarkan kepada pemilih?

Nah, sekarang adakah caleg yang sudah melakukan strategi komunikasi  politik yang terencana? Atau masih mengandalkan body angkot dan pohon rindang untuk mendongkrak popularitas?

Penulis
RISCA TRESMIANTI . S
Mahasiswa FISIP
Universitas Pasundan

Artikel dimuat di rubrik OPINI  HU Pikiran Rakyat






Rabu, 05 Maret 2014

Go Acting ! Cara Atasi Gugup saat Public Speaking

“Di depan panggung sana ada ratusan orang, ribuan orang, bahkan jutaan orang yang mungkin akan menatap aku berbicara. Tatapan mereka seolah menghukumku. Tatapan mereka  seolah menguji  kehebatan ide yang akan aku sampaikan. Jika aku tampak bodoh mereka akan siap-siap mentertawakan. Jika aku salah bicara maka mereka akan saling berbisik dan bergunjing. Jika aku berbicara terlalu berani mungkin mereka akan siap melemparku dengan telur busuk,”
Mungkin pikiran seperti itu biasa menghantui   para public speaker  pemula (seperti saya). Kalau kamu seorang public speaker,   enyahkan pikiran-pikiran seperti itu.  Karena  semua itu hanyalah imajinasi picik yang menari-nari di dalam kepalamu.

Pada suatu hari di laboratorium  public speaking, Mr. Amin (dosen kami di UNPAS) menantang  mahasiswanya  untuk  berbicara didepan audiens.  Audiensnya sedikit, cuma terdiri dari beberapa puluh mahasiswa  yang juga mengikuti kelas tersebut.

Satu per satu mahasiswa  tampil berbicara. Beberapa orang mampu berbicara  dengan lancar, namun kebanyakan orang gugup dan  bingung mau ngomong apa. Beberapa mampu berbicara tapi idenya loncat-loncat dan tidak terstruktur.

Menurut Mr. Amin, ada  beberapa structure speech yang harus disampaikan dalam public speaking,  yakni :
  1. Addressing
  2. Greetings
  3. Opening
  4. Body Content
  5. Clossing
  6. Thanking

Disampaikan Amin,  dalam memulai   speech   tentukan dulu supporting point-nya. Kita bisa menyampaikan testomoni (quote),  analogi (membandingkan sebuah kasus dulu atau kini), statistic ( sesuatu yang ilmiah), Explaination (etimologi,  terminology, penjelasan), Example (contoh studi kasus).

Pada  kesempatan lainnya, Amin  menantang kami untuk berbicara di depan audiens  dengan meniru  bagaimana public speaker  lain berbicara. Artinya  kita tidak perlu menjadi diri sendiri dulu, tapi bagaimana kita menjadi orang lain saat menyampaikan speech. Saya menilai maksud Amin adalah bagaimana kita bisa berakting menjadi  public speaker lain.

Speech  Hillary Clinton pada pidato politiknya pada Democratic  National Convention tanggal  26 Agustus 2008 di Denver, menjadi  role model  yang harus kami ikuti saat itu. Satu per satu dari kami  tampil berbicara seolah-olah kami adalah Hillary Clinton.

Ya, kini giliranku untuk menjadi Hillary Clinton yang berbicara didepan ribuan simpatisan dan pendukung partai democrat. Pikiranku berkata, aku  akan menyampaikan hal-hal baik, mengajak audiens membangun mimpi dan menghadapi masa depan, meyakinkan mereka secara personal bahwa mereka merupakan bagian dari Negara untuk menghadapi tantangan dunia, dan aku  mempengaruhi mereka untuk memilih Barack Obama sebagai Presiden Amerika. Yang saya rasakan selama menjadi Hillary Clinton adalah rasa percaya diri dan bangga dengan perkataan yang saya sampaikan. Kami meniru bagaimana Hillary  menggunaakan speed speaking, intonasi, stressing, pharsing  dan pause  dalam speech-nya.

Dan benar,  Mr.Amin berhasil membuat kami menyampaikan speech di depan audiens  mirip Hillary Clinton. Amin mengatakan, bahwa dalam menyampaikan speech  kita tak perlu  menjadi orang lain akan tetapi kita bisa  menjadikan public speaker  lain sebagai referensi.




Senin, 03 Maret 2014

Memupuk Jurnalisme di Ranah Akademik

Tidak sedikit media kampus yang terpaksa ’gulung tikar’ karena terbentur berbagai persoalan. Entah itu karena masalah dana atau perbedaan idealisme media itu sendiri. Memang masalah dana seringkali menjadi alasan berakhirnya media kampus. Tidak jarang media kampus terpaksa tidak terbit karena adanya benturan idealisme mahasiswa dengan kepentingan institusinya. Kendati sosok mahasiswa tercermin kental dalam sebuah media kampus, namun tampaknya masalah ini harus disikapi bersama, baik oleh mahasiswa maupun institusinya.


Tak banyak perguruan tinggi yang menyadari manfaat jurnalistik atau pers kampus. Padahal perguruan tinggi memiliki potensi besar dalam menyumbangkan pencerahan dan pemikiran baru bagi sivitas akademika sendiri, bahkan masyarakat luas. Bagaimana tidak, perguruan tinggi memiliki inovasi serta sumber daya yang mampu membangun solusi dan berbagi informasi. Jadi tak ada salahnya jika jurnalistik masuk di ranah akademik. Kuncinya, tetap manajemen redaksi sebagai landasan sebuah penerbitan media kampus.

Banyak cara yang dapat dimanfaatkan perguruan tinggi untuk berbagi informasi. Misalnya menerbitkan koran kampus, majalah kampus dan tabloid, melalui website, fasilitas blog dan lainnya. Atau dengan cara lebih kompleks sepeti televisi kampus dan radio kampus. Apapun bentuknya, pers kampus idealnya tetap mengindahkan ciri khas akademis, yaitu pemikiran ilmiah, rasional, objektif, kritis, etis dan menjunjung tinggi nilai-nilai intelektualitas.

Setiap rubrikrasi dan muatan berita media kampus harus berkualitas dan padat guna. Informasinya bersifat mencerahkan pengetahuan baru. Ini memungkinkan jurnalistik kampus menyoroti kehidupan khas kampus. Muatan berita mengandung unsur sistem pendidikan baru, regulasi-regulasi pendidikan, perkembangan sains dan teknologi, inovasi dan kreativitas mahasiswa, seputar penelitian dosen dan mahasiswa, kultur kampus, dan unit kegiatan mahasiswa.

Menurut pakar jurnalistik Universitas Stanford, William L. Rivers, sebagaimana dikutip Assegaf, pers kampus idealnya harus mengikuti pendekatan jurnalistik yang serius. Berisikan tentang kejadian-kejadian yang bernilai berita bagi lembaga dan kehidupannya. Pers kampus harus menjadi wadah bagi penyaluran ekspresi mahasiswa. Pun, ia harus mampu menjadi pers yang diperlukan komunitas kampusnya. Pers kampus harus memenuhi fungsinya sebagai media komunikasi dan tidak memihak sekelompok kecil orang atau netral.


Media kampus tidak kalah pentingnya dengan penciptaan ’image’ perguruan tinggi itu sendiri. Pemberitaannya pun menunjukan eksistensi, kredibilitas serta profesionalitasnya. Kendati pers kampus berbeda dengan pers umum, sudah seharusnya lingkup dunia akademik mampu menjalankan pers kampus yang terstruktur. Dengan demikian sehingga reputasi media dan kampus akan terbentuk. Pada dasarnya, eksistensi suatu media tergantung dari kondisi internal media itu sendiri. Termasuk sumber daya manusianya, sarana pra sarana serta manajemen yang terencana. Selama pengelolaannya serius, media kampus cukup prospektif.

Penerbitan media kampus memiliki visi dan misi yang ditetapkan tim redaksi. Idealnya, tim redaksi terdiri dari  elemen-elemen kampus, seperti pejabat rektorat, dosen dan mahasiswa. Bagian ini penting karena menetukan sikap media kedepannya. Visi dan misi merupakan filosofi media dimana di dalamnya terdapat prinsip yang permanen. Sehingga sikap media tidak melenceng dari ketentuan yang disepakati redaksi.

Merujuk pada pemikiran teoris manajemen asal Perancis, Henry Fayol, fungsi manajemen meliputi planning, organizing, acting, dan controlling. Sebelum menerbitkan media, tim redaksi wajib melakukan perencanaan matang. Pada tahap ini, visi, misi dan aturan disusun dan disepakati bersama. Boleh dibilang, tahap perencanaan menjadi landasan karena menjadi rambu-rambu dari sikap media itu sendiri. Tim redaksi adalah organisasi. Dimana setiap bagiannya memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Namun, satu dengan yang lainnya bekerja dan saling bersinergi sesuai dengan perencaanaan dan pengorganisasian. Setiap edisi atau frekuensi waktu tertentu, redaksi wajib melakukan rapat redaksi untuk menentukan peliputan dan pelaporan berita. Selanjutnya, pemimpin redaksi harus me-review ulang kinerja tim. Apakah pelaporan dan gaya bahasa berita sudah sesuai dengan perencanaan awal, tata tertib redaksi dan kode etik jurnalistik. Jika keempat teori ini diterapkan, tentu akan membangun manajemen redaksi media kampus yang lebih profesional.

Media kampus sangat berpotensi untuk menjadi produk jurnalistik yang mampu memberi kontribusi bagi sivitas akademika, bahkan masyarakat luas. Sudah saatnya media kampus menjadi ajang kreativitas mengedepankan profesionalitas dan intelektualitas. Bahkan, peran media kampus pun tak sebatas lingkup publikasi saja. Mengutip Dosen Jurnalistik Universitas Padjadjaran (UNPAD), Maimon Herawati, S.Sos, M.Litt, kuliah umum Materi Penulisan dan Jurnalistik di Institut Teknologi Telkom (IT Telkom) Mei lalu, “Peninggalan terpenting sebuah peradaban adalah karya tulis. Jika ingin membangun peradaban, maka buatlah tulisan. Sebaliknya, jika ingin menghancurkan peradaban maka hancurkanlah tulisannya.” Disinilah tampak bahwa peran jurnalistik atau pers kampus bukan hanya mentransfer informasi dan kecerdasan, melainkan juga sebagai dokumentasi peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kampus.


Risca Tesmianti Suarna
Staf Humas Institut Teknologi Telkom,
Tim Redaksi Majalah TELL dan www. ittelkom.ac.id (Terbitan IT Telkom)
Dimuat di Mimbar Kampus Harian Pikiran Rakyat Edisi Kamis, 10 September 2009.

DJ Arie "Audiens Bebe-an Berarti Lagi Bosen"

Minggu 21/04/2013, saya ikut di kelas DJ Arie untuk materi teknik presentasi. Saat itu saya baru ngeh kalau gesture dan attitude bisa memberikan kesan tertentu pada saat kita presentasi. Pada saat presentasi, tidak hanya konten saja yang didengar audiens. Namun kualitas suara, sikap dan bahasa tubuh akan berpengaruh pada kenyamanan audiens. Pada saat presentasi tentu kita ingin audiens betah mendengarkan kita. Jika audiens mulai asik dengan smartphone atau blackberry-nya, bisa jadi dia bosan mendengarkan kita.