Jumat, 02 Mei 2014
Rabu, 23 April 2014
Contoh Pidato Dalam Bahasa Inggris : "Selfies Are More Dangerous Than You Think!"
Menyampaikan Speech memang susah-susah gampang. Namun jika dilatih berulang kali pasti bisa. Sebaiknya naskah Speech jangan dihapal. Cukup ingat beberapa poin yang akan disampaikan yakni Addressing, Greetings, Opening, Body, Clossing kemudian Thanking. Berikut ini saya ingin share salah satu naskah Speech yang pernah saya sampaikan di UNPAS Senin, 21 April 2014.
"Selfies Are More Dangerous Than You Think!"
Dear Mr.
Amin,
And all my
friends..
I would like
to thanks to you, for giving me a time to speak here.
LADIES AND GENTELMAN ..
Today, I’ve read the story about
Danny Bowman. The 19 years old teenager that
always spend 10 hours a day taking up
200 photos of himself on his iPhone. Then He dropped out of school, stay
in his room for six months to capture
the perfect self-portrait. He want to be Leonardo Di Caprio on selfie picture,
but he did not succeed. And also worried
of bullying experience. Finally, he
became so depressed that overdose selfie picture. So today I want to talk here
about Selfies Are More Dangerous Than
You Think!
LADIES AND GENTELMAN ..
Everyday, I scroll the my Facebook’s newsfeed. And I found more than 50 selfies photograph. Then I open my Instagram, again I saw more
than 100 selfies picture every single day. The photograph showing various
poses. Namely “duck face”, “Trick of Light”, “Perfect Body”, “Best Moment
Background”, and “Selfie on The Mirror”.
Have you ever seen “the duck
face”?
Duck face is popular expression in social
media. They ussualy show their pursed
lips, seems like a duck face. This expression is mostly done by teenagers. The goal is to
impress the cute and adorable photos. If you have ever seen the special lighting effect in
photograph. This effect make the photos more bright and soft. The trick of light effects can make the images better and artistic. Most
people who has dark skin like to do
this. “Perfect Body”, it is also often performed selfie for a man who has muscle shape and six pack,
or women who want to show off her breasts and bottom. If you likes to
do it, becarefull. Selfie Pose in front of the mirror can observe posture and the best
angel. Most people do this at
home or use a large mirror in public restrooms.
LADIES AND GENTELMAN ..
We can say this phenomenon, Body
Dysmorphic Disorder or BDD.
BDD is since the rise of camera phones have a
compulsion to repeatedly take selfies. Selfies "as a serious mental health
problem". According to psychologist Salma
Prabhu, The goal of Selfies is to show how great he is, but it could be aimed
wants to be noticed. Selfie can turn someone into an ambitious person who has
an unhealthy obsession.
According to psychiatrist Dr.
David Veal, Selfie not a vanity issue. It's a mental health one
which has an extremely high suicide rate. Technology addiction and Body
Dysmorphic Disorder — a chronic mental health condition in which the sufferer
obsesses over perceived flaws with their body.
LADIES AND GENTELMAN ..
Now let me show you, how
this selfie-phenomenon contribute bad
impact to the social life, base on case study and research.Based on research Academy Facial
Plastic and Reconstructive Surgery American (AAFPRS), Photo- selfie that encourage high interest of
people to do plastic surgery. Because, they want to look perfect in every
photograph. If it can be likened, plastic surgery is a ‘photoshop’ in the real world. The survey involved 2,700 plastic surgeons
who are members AAFPRS. Mostly, the patient looks reasonable to improve
performance in social media. In 2013,
a sharp nose demand increase 10
percent. Meanwhile, hair transplants
increase 7 percent and
demand for eyelid increased 6 percent. Besides selfie,
bullying became one of the driving plastic surgery. They want to look beautiful or handsome in
front of the opponent's chat.
A study titled "Tagger's
Delight? Disclosure and liking behaviour in Facebook: the effects of sharing
photographs amongst multiple known social circles". From three business
schools in Europe found that people who post more selfies have more shallow
relationships with people. Professors asked 508 Facebook users with an average
age of 24 to rank how close they felt to friends, coworkers and relatives who
also happened to be on the site. Then, they compared that data to the number of
selfies the test subjects had posted. The
conclusion? : "Increased frequency
of sharing photographs of the self, regardless of the type of target sharing
the photographs, is related to a decrease in intimacy in personal
relationships”.
According to Birmingham Business
School professor and lead author Dr. David Houghton, "People, other than
very close friends and relatives, don't seem to relate well to those who
constantly share photos of themselves. It's worth remembering that the
information we post to our 'friends' on Facebook, actually gets viewed by lots
of different categories of people: partners; friends; family; colleagues and
acquaintances; and each group seems to take a different view of the information
shared."
LADIES AND GENTELMAN ..
That in moderation, selfies are a feel-good and often creative way, particularly
for teens, to chronicle their lives and emotions and express their
personalities. But, narcissistic on
sefies is correlated with a decrease in the intimacy of
personal relationships.
No more virtual bullying, no more Body Dysmorphic Disorder, no more the
next “Danny Bowman”.
Thankyou
Kamis, 27 Maret 2014
Komunikasi Politik Caleg
![]() |
sumber : tribunnews |
Tepat tanggal 9 April
nanti masyarakat Indonesia menggunakan
hak politiknya untuk menentukan siapa calon legislatif (caleg) pilihannya. E-voting
pun dipilih sebagai sistem baru dalam pemilihan umum nanti. Namun apakah pemilihan umum legislatif (pileg)
tahun ini akan berhasil menyedot partisipasi rakyat?
Jika kita analogikan ke masa lalu, partisipasi pemilih turun dari tahun ke tahun. Pada pileg tahun 1999 golput mencapai angka 10,2%. Selanjutnya pada pileg
2004 sebanyak 23,3% golput. Dan di tahun
2009 jumlahnya meningkar jadi 29%
yang tidak menggunakan hak
pilihnya.
Trend angka
golput meningkat setiap periodenya. Hal
itu menjadi pertanda berkurangnya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pileg. Jangan salahkan rakyat jika pada pileg
memilih Golput. Calon legislatifnya saja kurang begitu dikenal
dikalangan masyarakat. Informasi yang
dibutuhkan masyarakat tentang calegnya bukan sekedar siapa dan dari partai apa.
Melainkan bagaimana kredibilitas caleg itu. Lalu solusi kerakyatan apa yang akan dilakukan caleg jika kelak terpilih. Sehingga para Caleg
harus sadar bahwa memikat hati rakyat bukan sekedar narsis pasang poster di body
angkot dan pohon rindang.
Mendulang suara di pileg
memang bukan hal yang mudah. Strategi
komunikasinya pun harus inovatif dan terencana dengan baik. Sehingga caleg
harus bisa nyekill (nge -skill) dalam menyampaikan pesan politiknya. Pun, pesan
politik yang disampaikan harus bisa menjawab apa yang sebenarnya diharapkan
rakyat. Mengapa demikian?
Fenomena apatisme
masyarakat muncul seiring dengan
kekecewaannya terhadap era reformasi. Di
tambah lagi dengan pemberitaan media
terkait kasus korupsi yang melibatkan
para elit politik, membuat kredibilitas
partai di mata masyarakat kian
merosot. Mayoritas parpol gencar membangun citranya hanya di saat-saat
menjelang pemilu. Usai pemilu peran
parpol tampaknya datar-datar saja, bahkan cenderung mengabaikan permanent
campaign atau tidak mampu melaksanakan program–program politik yang ditawarkan pada saat kampanye.
Hingga detik ini, belum muncul caleg yang pro aktif menanggapi
isu tertentu. Padahal suatu isu yang beredar di masyarakat bisa
menjadi umpan untuk seorang caleg dalam
merancang perencanaan komunikasi
politiknya.
Masih tersirat kenangan
bagaimana popularitas Jokowi naik ketika mengangkat isu Mobil Esemka.
Mobil karya siswa SMK ini banyak
disorot televisi menjelang pencalonan
Jokowi sebagai gubernur DKI. Dengan bangga Jokowi mempromosikan keunggulan
Esemka sebagai karya anak bangsa. Padahal saat itu bangsa ini sedang dilanda
pro dan kontra tentang impor mobil murah. Alhasil tak hanya menarik simpati
masyarakat, Jokowi pun berhasil menjadi media darling hingga saat ini.
Strategi komunikasi
Jokowi mirip dengan konsepsi Ostergaard (2002) tentang aspek A3 (awareness,
attitude, action). Pada tahapan awareness ini Jokowi sebagai komunikator
politik menggugah kesadaran sekaligus menarik perhatian masyarakat, melalui
gagasan dan informasi yang dikampanyekan.
Selanjutnya adalah tahapan attitude sasaran
politik. Dimana di tahap ini komunikator politik memunculkan rasa simpati, rasa
suka dan kepedulian. Kemudian memunculkan
keberpihakan khalayak pada isu-isu
yang menjadi tema kampanye. Pada tahapan action berarti
kampanye ditujukan untuk mengubah perilaku masyarakat secara konkrit dan terukur.
Seorang komunikator
politik akan berhasil dalam menyampaikan pesan politiknya ketika ia memiliki
daya tarik dan kredibilitasnya. Dan Jokowi berhasil menggiring daya tarik dan
kredibilitasnya itu ke ranah opini publik.
Sekarang, mampukah para
caleg menciptakan daya tarik dan kredibilitas yang khas bagi dirinya? Sebagai
caleg kreatif seharusnya mampu menciptakan strategi komunikasi yang lebih jitu. Karena mendongkrak
popularitas bukan hanya sekedar membumbui poster kampanye dengan titel gelar,
bukan pula dengan memamerkan wajah nan rupawan, apa lagi dengan mendompleng
nama besar para petinggi partai.
Intinya, rakyat butuh
solusi. Sebagai caleg berkualitas, dia harus bisa menciptakan solusi sebagai
pesan sentral dari kampanyenya. Diharapkan para caleg bisa mendongkrak
popularitasnya dengan mengkampanyekan solusi cerdas atas masalah yang masih ada
di tengah masyarakat.
Kalau masyarakat dipaksa
untuk memilih pada pileg tahun ini, tentu bakalan kebingungan caleg mana yang
akan dipilih. Sementara masyarakat masih bertanya-tanya, siapa caleg tersebut?
Bagaimana kredibilitas partainya? Berpihak pada siapa dia? Siapa yang
mendukungnya? Bagaimana reputasi dan track record-nya? Dan solusi apa
yang caleg tawarkan kepada pemilih?
Nah, sekarang adakah
caleg yang sudah melakukan strategi komunikasi
politik yang terencana? Atau masih mengandalkan body angkot dan
pohon rindang untuk mendongkrak popularitas?
Penulis
RISCA TRESMIANTI . S
Mahasiswa FISIP
Universitas Pasundan
Artikel dimuat di rubrik OPINI HU Pikiran Rakyat
Rabu, 05 Maret 2014
Go Acting ! Cara Atasi Gugup saat Public Speaking
“Di depan panggung sana ada ratusan orang, ribuan orang, bahkan jutaan orang yang mungkin akan menatap aku berbicara. Tatapan mereka seolah menghukumku. Tatapan mereka seolah menguji kehebatan ide yang akan aku sampaikan. Jika aku tampak bodoh mereka akan siap-siap mentertawakan. Jika aku salah bicara maka mereka akan saling berbisik dan bergunjing. Jika aku berbicara terlalu berani mungkin mereka akan siap melemparku dengan telur busuk,”
Mungkin pikiran seperti itu biasa
menghantui para public speaker pemula
(seperti saya). Kalau kamu seorang public
speaker, enyahkan pikiran-pikiran
seperti itu. Karena semua itu hanyalah imajinasi picik yang
menari-nari di dalam kepalamu.
Pada suatu hari di laboratorium public speaking, Mr. Amin (dosen kami di
UNPAS) menantang mahasiswanya untuk
berbicara didepan audiens. Audiensnya sedikit, cuma terdiri dari beberapa
puluh mahasiswa yang juga mengikuti
kelas tersebut.
Satu per satu mahasiswa tampil berbicara. Beberapa orang mampu
berbicara dengan lancar, namun
kebanyakan orang gugup dan bingung mau
ngomong apa. Beberapa mampu berbicara tapi idenya loncat-loncat dan tidak
terstruktur.
Menurut Mr. Amin, ada beberapa structure
speech yang harus disampaikan dalam public speaking, yakni :
- Addressing
- Greetings
- Opening
- Body Content
- Clossing
- Thanking
Disampaikan Amin, dalam memulai speech
tentukan dulu supporting point-nya. Kita bisa menyampaikan testomoni (quote),
analogi (membandingkan sebuah kasus dulu atau kini), statistic ( sesuatu
yang ilmiah), Explaination (etimologi, terminology,
penjelasan), Example (contoh studi kasus).
Pada kesempatan lainnya, Amin menantang kami untuk berbicara di depan audiens dengan meniru bagaimana public
speaker lain berbicara. Artinya kita tidak perlu menjadi diri sendiri dulu,
tapi bagaimana kita menjadi orang lain saat menyampaikan speech. Saya menilai maksud Amin adalah bagaimana kita bisa
berakting menjadi public speaker lain.
Speech Hillary Clinton pada pidato politiknya pada Democratic National Convention tanggal 26 Agustus 2008 di Denver, menjadi role
model yang harus kami ikuti saat
itu. Satu per satu dari kami tampil
berbicara seolah-olah kami adalah Hillary Clinton.
Ya, kini giliranku untuk menjadi
Hillary Clinton yang berbicara didepan ribuan simpatisan dan pendukung partai democrat.
Pikiranku berkata, aku akan menyampaikan
hal-hal baik, mengajak audiens membangun mimpi dan menghadapi masa depan,
meyakinkan mereka secara personal bahwa mereka merupakan bagian dari Negara untuk
menghadapi tantangan dunia, dan aku
mempengaruhi mereka untuk memilih Barack Obama sebagai Presiden Amerika.
Yang saya rasakan selama menjadi Hillary Clinton adalah rasa percaya diri dan
bangga dengan perkataan yang saya sampaikan. Kami meniru bagaimana Hillary menggunaakan speed speaking, intonasi, stressing,
pharsing dan pause dalam speech-nya.
Dan benar, Mr.Amin berhasil membuat kami menyampaikan speech di depan audiens mirip Hillary
Clinton. Amin mengatakan, bahwa dalam menyampaikan speech kita tak perlu menjadi orang lain akan tetapi kita bisa menjadikan public speaker lain sebagai
referensi.
Senin, 03 Maret 2014
Memupuk Jurnalisme di Ranah Akademik
Tidak sedikit media kampus yang terpaksa ’gulung tikar’ karena terbentur berbagai persoalan. Entah itu karena masalah dana atau perbedaan idealisme media itu sendiri. Memang masalah dana seringkali menjadi alasan berakhirnya media kampus. Tidak jarang media kampus terpaksa tidak terbit karena adanya benturan idealisme mahasiswa dengan kepentingan institusinya. Kendati sosok mahasiswa tercermin kental dalam sebuah media kampus, namun tampaknya masalah ini harus disikapi bersama, baik oleh mahasiswa maupun institusinya.
Tak banyak perguruan tinggi yang menyadari manfaat jurnalistik atau pers kampus. Padahal perguruan tinggi memiliki potensi besar dalam menyumbangkan pencerahan dan pemikiran baru bagi sivitas akademika sendiri, bahkan masyarakat luas. Bagaimana tidak, perguruan tinggi memiliki inovasi serta sumber daya yang mampu membangun solusi dan berbagi informasi. Jadi tak ada salahnya jika jurnalistik masuk di ranah akademik. Kuncinya, tetap manajemen redaksi sebagai landasan sebuah penerbitan media kampus.
Banyak cara yang dapat dimanfaatkan perguruan tinggi untuk berbagi informasi. Misalnya menerbitkan koran kampus, majalah kampus dan tabloid, melalui website, fasilitas blog dan lainnya. Atau dengan cara lebih kompleks sepeti televisi kampus dan radio kampus. Apapun bentuknya, pers kampus idealnya tetap mengindahkan ciri khas akademis, yaitu pemikiran ilmiah, rasional, objektif, kritis, etis dan menjunjung tinggi nilai-nilai intelektualitas.
Setiap rubrikrasi dan muatan berita media kampus harus berkualitas dan padat guna. Informasinya bersifat mencerahkan pengetahuan baru. Ini memungkinkan jurnalistik kampus menyoroti kehidupan khas kampus. Muatan berita mengandung unsur sistem pendidikan baru, regulasi-regulasi pendidikan, perkembangan sains dan teknologi, inovasi dan kreativitas mahasiswa, seputar penelitian dosen dan mahasiswa, kultur kampus, dan unit kegiatan mahasiswa.
Menurut pakar jurnalistik Universitas Stanford, William L. Rivers, sebagaimana dikutip Assegaf, pers kampus idealnya harus mengikuti pendekatan jurnalistik yang serius. Berisikan tentang kejadian-kejadian yang bernilai berita bagi lembaga dan kehidupannya. Pers kampus harus menjadi wadah bagi penyaluran ekspresi mahasiswa. Pun, ia harus mampu menjadi pers yang diperlukan komunitas kampusnya. Pers kampus harus memenuhi fungsinya sebagai media komunikasi dan tidak memihak sekelompok kecil orang atau netral.

Media kampus tidak kalah pentingnya dengan penciptaan ’image’ perguruan tinggi itu sendiri. Pemberitaannya pun menunjukan eksistensi, kredibilitas serta profesionalitasnya. Kendati pers kampus berbeda dengan pers umum, sudah seharusnya lingkup dunia akademik mampu menjalankan pers kampus yang terstruktur. Dengan demikian sehingga reputasi media dan kampus akan terbentuk. Pada dasarnya, eksistensi suatu media tergantung dari kondisi internal media itu sendiri. Termasuk sumber daya manusianya, sarana pra sarana serta manajemen yang terencana. Selama pengelolaannya serius, media kampus cukup prospektif.
Penerbitan media kampus memiliki visi dan misi yang ditetapkan tim redaksi. Idealnya, tim redaksi terdiri dari elemen-elemen kampus, seperti pejabat rektorat, dosen dan mahasiswa. Bagian ini penting karena menetukan sikap media kedepannya. Visi dan misi merupakan filosofi media dimana di dalamnya terdapat prinsip yang permanen. Sehingga sikap media tidak melenceng dari ketentuan yang disepakati redaksi.
Merujuk pada pemikiran teoris manajemen asal Perancis, Henry Fayol, fungsi manajemen meliputi planning, organizing, acting, dan controlling. Sebelum menerbitkan media, tim redaksi wajib melakukan perencanaan matang. Pada tahap ini, visi, misi dan aturan disusun dan disepakati bersama. Boleh dibilang, tahap perencanaan menjadi landasan karena menjadi rambu-rambu dari sikap media itu sendiri. Tim redaksi adalah organisasi. Dimana setiap bagiannya memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Namun, satu dengan yang lainnya bekerja dan saling bersinergi sesuai dengan perencaanaan dan pengorganisasian. Setiap edisi atau frekuensi waktu tertentu, redaksi wajib melakukan rapat redaksi untuk menentukan peliputan dan pelaporan berita. Selanjutnya, pemimpin redaksi harus me-review ulang kinerja tim. Apakah pelaporan dan gaya bahasa berita sudah sesuai dengan perencanaan awal, tata tertib redaksi dan kode etik jurnalistik. Jika keempat teori ini diterapkan, tentu akan membangun manajemen redaksi media kampus yang lebih profesional.
Media kampus sangat berpotensi untuk menjadi produk jurnalistik yang mampu memberi kontribusi bagi sivitas akademika, bahkan masyarakat luas. Sudah saatnya media kampus menjadi ajang kreativitas mengedepankan profesionalitas dan intelektualitas. Bahkan, peran media kampus pun tak sebatas lingkup publikasi saja. Mengutip Dosen Jurnalistik Universitas Padjadjaran (UNPAD), Maimon Herawati, S.Sos, M.Litt, kuliah umum Materi Penulisan dan Jurnalistik di Institut Teknologi Telkom (IT Telkom) Mei lalu, “Peninggalan terpenting sebuah peradaban adalah karya tulis. Jika ingin membangun peradaban, maka buatlah tulisan. Sebaliknya, jika ingin menghancurkan peradaban maka hancurkanlah tulisannya.” Disinilah tampak bahwa peran jurnalistik atau pers kampus bukan hanya mentransfer informasi dan kecerdasan, melainkan juga sebagai dokumentasi peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kampus.

Risca Tesmianti Suarna
Staf Humas Institut Teknologi Telkom,
Tim Redaksi Majalah TELL dan www. ittelkom.ac.id (Terbitan IT Telkom)
Dimuat di Mimbar Kampus Harian Pikiran Rakyat Edisi Kamis, 10 September 2009.

DJ Arie "Audiens Bebe-an Berarti Lagi Bosen"
Minggu 21/04/2013, saya ikut di kelas DJ Arie untuk materi teknik presentasi. Saat itu saya baru ngeh kalau gesture dan attitude bisa memberikan kesan tertentu pada saat kita presentasi. Pada saat presentasi, tidak hanya konten saja yang didengar audiens. Namun kualitas suara, sikap dan bahasa tubuh akan berpengaruh pada kenyamanan audiens. Pada saat presentasi tentu kita ingin audiens betah mendengarkan kita. Jika audiens mulai asik dengan smartphone atau blackberry-nya, bisa jadi dia bosan mendengarkan kita.
Langganan:
Postingan (Atom)