Kamis, 27 Maret 2014

Komunikasi Politik Caleg

sumber : tribunnews
Pemilu Legislatif tinggal sebulan lagi. Tapi gaung kredibilitas para calegnya masih belum terdengar. Hanya posternya saja yang turut meramaikan kaca bagian belakang angkot dan pohon rindang.

Tepat tanggal 9 April nanti masyarakat Indonesia  menggunakan hak politiknya untuk menentukan siapa calon legislatif (caleg) pilihannya. E-voting pun dipilih  sebagai sistem baru  dalam pemilihan umum nanti. Namun apakah  pemilihan umum legislatif  (pileg)  tahun ini akan  berhasil  menyedot partisipasi rakyat?

Jika kita  analogikan ke masa lalu,  partisipasi pemilih  turun dari tahun ke tahun. Pada pileg  tahun 1999 golput  mencapai angka 10,2%. Selanjutnya pada pileg 2004 sebanyak 23,3% golput.  Dan di tahun 2009 jumlahnya meningkar jadi 29%  yang  tidak menggunakan hak pilihnya.

Trend angka golput  meningkat setiap periodenya. Hal itu menjadi pertanda  berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pileg. Jangan salahkan rakyat jika  pada pileg  memilih Golput. Calon legislatifnya saja kurang begitu dikenal dikalangan masyarakat. Informasi  yang dibutuhkan masyarakat tentang calegnya bukan sekedar siapa dan dari partai apa. Melainkan bagaimana kredibilitas caleg itu. Lalu solusi  kerakyatan apa  yang akan dilakukan caleg  jika kelak terpilih. Sehingga para Caleg harus sadar bahwa memikat hati rakyat bukan sekedar narsis pasang poster di body  angkot dan  pohon rindang.

Mendulang suara di pileg memang bukan hal yang mudah.  Strategi komunikasinya pun harus inovatif dan terencana dengan baik. Sehingga caleg harus bisa nyekill (nge -skill) dalam  menyampaikan pesan politiknya. Pun, pesan politik yang disampaikan harus bisa menjawab apa yang sebenarnya diharapkan rakyat.   Mengapa demikian?

Fenomena apatisme masyarakat  muncul seiring dengan kekecewaannya  terhadap era reformasi. Di tambah  lagi dengan pemberitaan media terkait kasus korupsi   yang melibatkan para elit  politik, membuat kredibilitas partai  di mata masyarakat kian merosot.  Mayoritas parpol  gencar membangun citranya hanya di saat-saat menjelang pemilu. Usai pemilu  peran parpol tampaknya datar-datar saja, bahkan cenderung mengabaikan permanent campaign atau tidak mampu melaksanakan program–program politik  yang ditawarkan pada saat kampanye.

Hingga detik ini,  belum muncul caleg yang pro aktif  menanggapi  isu tertentu.   Padahal  suatu isu yang beredar di masyarakat bisa menjadi umpan untuk seorang  caleg dalam merancang perencanaan  komunikasi politiknya.

Masih tersirat kenangan bagaimana  popularitas Jokowi  naik ketika mengangkat isu  Mobil Esemka.  Mobil  karya siswa SMK ini banyak disorot televisi  menjelang pencalonan Jokowi sebagai gubernur DKI. Dengan bangga Jokowi mempromosikan keunggulan Esemka sebagai karya anak bangsa. Padahal saat itu bangsa ini sedang dilanda pro dan kontra tentang impor mobil murah. Alhasil tak hanya menarik simpati masyarakat, Jokowi pun berhasil menjadi media darling hingga saat ini.

Strategi komunikasi Jokowi mirip dengan konsepsi Ostergaard (2002) tentang aspek A3 (awareness, attitude, action). Pada tahapan awareness ini Jokowi sebagai komunikator politik menggugah kesadaran sekaligus menarik perhatian masyarakat, melalui gagasan dan informasi yang dikampanyekan.

 Selanjutnya adalah tahapan attitude sasaran politik. Dimana di tahap ini komunikator politik memunculkan rasa simpati, rasa suka dan kepedulian. Kemudian memunculkan  keberpihakan khalayak pada isu-isu  yang menjadi tema kampanye. Pada tahapan action berarti kampanye  ditujukan untuk mengubah  perilaku masyarakat  secara konkrit  dan terukur.

Seorang komunikator politik akan berhasil dalam menyampaikan pesan politiknya ketika ia memiliki daya tarik dan kredibilitasnya. Dan Jokowi berhasil menggiring daya tarik dan kredibilitasnya itu ke ranah opini publik.

Sekarang, mampukah para caleg menciptakan daya tarik dan kredibilitas yang khas bagi dirinya? Sebagai caleg kreatif seharusnya mampu menciptakan strategi komunikasi  yang lebih jitu. Karena mendongkrak popularitas bukan hanya sekedar membumbui poster kampanye dengan titel gelar, bukan pula dengan memamerkan wajah nan rupawan, apa lagi dengan mendompleng nama besar para petinggi partai.

Intinya, rakyat butuh solusi. Sebagai caleg berkualitas, dia harus bisa menciptakan solusi sebagai pesan sentral dari kampanyenya. Diharapkan para caleg bisa mendongkrak popularitasnya dengan mengkampanyekan solusi cerdas atas masalah yang masih ada di tengah masyarakat.

Kalau masyarakat dipaksa untuk memilih pada pileg tahun ini, tentu bakalan kebingungan caleg mana yang akan dipilih. Sementara masyarakat masih bertanya-tanya, siapa caleg tersebut? Bagaimana kredibilitas partainya? Berpihak pada siapa dia? Siapa yang mendukungnya? Bagaimana reputasi dan track record-nya? Dan solusi apa yang caleg tawarkan kepada pemilih?

Nah, sekarang adakah caleg yang sudah melakukan strategi komunikasi  politik yang terencana? Atau masih mengandalkan body angkot dan pohon rindang untuk mendongkrak popularitas?

Penulis
RISCA TRESMIANTI . S
Mahasiswa FISIP
Universitas Pasundan

Artikel dimuat di rubrik OPINI  HU Pikiran Rakyat






Tidak ada komentar:

Posting Komentar