![]() |
sumber : tribunnews |
Tepat tanggal 9 April
nanti masyarakat Indonesia menggunakan
hak politiknya untuk menentukan siapa calon legislatif (caleg) pilihannya. E-voting
pun dipilih sebagai sistem baru dalam pemilihan umum nanti. Namun apakah pemilihan umum legislatif (pileg)
tahun ini akan berhasil menyedot partisipasi rakyat?
Jika kita analogikan ke masa lalu, partisipasi pemilih turun dari tahun ke tahun. Pada pileg tahun 1999 golput mencapai angka 10,2%. Selanjutnya pada pileg
2004 sebanyak 23,3% golput. Dan di tahun
2009 jumlahnya meningkar jadi 29%
yang tidak menggunakan hak
pilihnya.
Trend angka
golput meningkat setiap periodenya. Hal
itu menjadi pertanda berkurangnya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pileg. Jangan salahkan rakyat jika pada pileg
memilih Golput. Calon legislatifnya saja kurang begitu dikenal
dikalangan masyarakat. Informasi yang
dibutuhkan masyarakat tentang calegnya bukan sekedar siapa dan dari partai apa.
Melainkan bagaimana kredibilitas caleg itu. Lalu solusi kerakyatan apa yang akan dilakukan caleg jika kelak terpilih. Sehingga para Caleg
harus sadar bahwa memikat hati rakyat bukan sekedar narsis pasang poster di body
angkot dan pohon rindang.
Mendulang suara di pileg
memang bukan hal yang mudah. Strategi
komunikasinya pun harus inovatif dan terencana dengan baik. Sehingga caleg
harus bisa nyekill (nge -skill) dalam menyampaikan pesan politiknya. Pun, pesan
politik yang disampaikan harus bisa menjawab apa yang sebenarnya diharapkan
rakyat. Mengapa demikian?
Fenomena apatisme
masyarakat muncul seiring dengan
kekecewaannya terhadap era reformasi. Di
tambah lagi dengan pemberitaan media
terkait kasus korupsi yang melibatkan
para elit politik, membuat kredibilitas
partai di mata masyarakat kian
merosot. Mayoritas parpol gencar membangun citranya hanya di saat-saat
menjelang pemilu. Usai pemilu peran
parpol tampaknya datar-datar saja, bahkan cenderung mengabaikan permanent
campaign atau tidak mampu melaksanakan program–program politik yang ditawarkan pada saat kampanye.
Hingga detik ini, belum muncul caleg yang pro aktif menanggapi
isu tertentu. Padahal suatu isu yang beredar di masyarakat bisa
menjadi umpan untuk seorang caleg dalam
merancang perencanaan komunikasi
politiknya.
Masih tersirat kenangan
bagaimana popularitas Jokowi naik ketika mengangkat isu Mobil Esemka.
Mobil karya siswa SMK ini banyak
disorot televisi menjelang pencalonan
Jokowi sebagai gubernur DKI. Dengan bangga Jokowi mempromosikan keunggulan
Esemka sebagai karya anak bangsa. Padahal saat itu bangsa ini sedang dilanda
pro dan kontra tentang impor mobil murah. Alhasil tak hanya menarik simpati
masyarakat, Jokowi pun berhasil menjadi media darling hingga saat ini.
Strategi komunikasi
Jokowi mirip dengan konsepsi Ostergaard (2002) tentang aspek A3 (awareness,
attitude, action). Pada tahapan awareness ini Jokowi sebagai komunikator
politik menggugah kesadaran sekaligus menarik perhatian masyarakat, melalui
gagasan dan informasi yang dikampanyekan.
Selanjutnya adalah tahapan attitude sasaran
politik. Dimana di tahap ini komunikator politik memunculkan rasa simpati, rasa
suka dan kepedulian. Kemudian memunculkan
keberpihakan khalayak pada isu-isu
yang menjadi tema kampanye. Pada tahapan action berarti
kampanye ditujukan untuk mengubah perilaku masyarakat secara konkrit dan terukur.
Seorang komunikator
politik akan berhasil dalam menyampaikan pesan politiknya ketika ia memiliki
daya tarik dan kredibilitasnya. Dan Jokowi berhasil menggiring daya tarik dan
kredibilitasnya itu ke ranah opini publik.
Sekarang, mampukah para
caleg menciptakan daya tarik dan kredibilitas yang khas bagi dirinya? Sebagai
caleg kreatif seharusnya mampu menciptakan strategi komunikasi yang lebih jitu. Karena mendongkrak
popularitas bukan hanya sekedar membumbui poster kampanye dengan titel gelar,
bukan pula dengan memamerkan wajah nan rupawan, apa lagi dengan mendompleng
nama besar para petinggi partai.
Intinya, rakyat butuh
solusi. Sebagai caleg berkualitas, dia harus bisa menciptakan solusi sebagai
pesan sentral dari kampanyenya. Diharapkan para caleg bisa mendongkrak
popularitasnya dengan mengkampanyekan solusi cerdas atas masalah yang masih ada
di tengah masyarakat.
Kalau masyarakat dipaksa
untuk memilih pada pileg tahun ini, tentu bakalan kebingungan caleg mana yang
akan dipilih. Sementara masyarakat masih bertanya-tanya, siapa caleg tersebut?
Bagaimana kredibilitas partainya? Berpihak pada siapa dia? Siapa yang
mendukungnya? Bagaimana reputasi dan track record-nya? Dan solusi apa
yang caleg tawarkan kepada pemilih?
Nah, sekarang adakah
caleg yang sudah melakukan strategi komunikasi
politik yang terencana? Atau masih mengandalkan body angkot dan
pohon rindang untuk mendongkrak popularitas?
Penulis
RISCA TRESMIANTI . S
Mahasiswa FISIP
Universitas Pasundan
Artikel dimuat di rubrik OPINI HU Pikiran Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar